JAKARTA, WBN - Sebagai semi lembaga negara, Dewan Pers mewakili masyarakat dan negara untuk menjamin kemerdekaan pers serta bertugas memastikan perusahaan dan organisasi kewartawanan mematuhi kode etiknya. Selain itu, Dewan Pers juga menjadi mediator bagi pers nasional sehingga keberadaannya berbeda dari organisasi kewartawanan. Dengan kata lain, Dewan Pers memiliki posisi mewakili negara untuk menjaga pers nasional. Hal tersebut disampaikan Bambang Sardono selaku Saksi yang dihadirkan Dewan Pers (Pihak Terkait) dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), pada Kamis (21/4/2022).
Sidang kesembilan Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya. Perkara tersebut dimohonkan oleh tiga wartawan sekaligus pimpinan perusahaan pers dan organisasi pers, yakni Heintje Grontson Mandagie, Hans M.Kawengian, dan Soegiharto Santoso.
“Maka Dewan Pers harus tunggal. Karena Dewan Pers diberikan kewenangan membuat regulasi yang tak hanya berlaku internal di lingkungan media sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tetapi juga berlaku secara publilk. Maka, gagasan pendirian Dewan Pers dapat dikatakan sebagai jangkar yang menggantikan posisi pemerintah,” terang Bambang yang mengakui pernah tergabung sebagai Panitia Kerja Pembahasan UU Pers.
Memiliki Karakter Reformis
Terkait dengan kesaksian Bambang selaku bagian dari Panitia Kerja Pembahasan UU Pers mengatakan UU Pers yang diujikan pada perkara ini memiliki karakter yang reformis. Peristiwa Reformasi 1998 langsung ditindaklanjuti dengan kelahiran UU Pers bersamaan dengan undang-undang lainnya. Sehingga, sambungnya, undang-undang tersebut merupakan norma yang sangat reformis dan responsif.
“Undang-undang ini lahir dengan semangat reformasi yang kental dan hal ini mengakhiri pembredelan pers yang sempat menghantui pada masa sebelumnya. UU Pers ini dibahas selama 15 hari dan dikawal oleh masyarakat pers. Sementara dari legal drafting tidak ada pendelegasian untuk membentuk peraturan pelaksananya sehingga semua dijabarkan dalam UU a quo. Singkatnya undang-undang ini menjadi dari wujud mosi tidak percaya pada pemerintah pada masa itu. Jadi, tidak ada mandat pada pemerintah untuk mengelola pers. Selain itu, UU ini menjadi medan ekspresi untuk mengelola pers dengan memperbarui Dewan Pers di mana ia mengatur dirinya sendiri. Sehingga undang-undang ini menghilangkan kekuasaan pemerintah dalam penguasaan media,” jelas Bambang.
Uji Kompetensi Kewartawanan
Dalam sidang tersebut hadir pula Maria Dian yang tergabung dalam Tim Perumus dan Kompetensi Wartawan. Maria yang juga dihadirkan sebagai Saksi Pihak Terkait menyampaikan tentang standar kompetensi dan uji kompetensi wartawan. Ia mengatakan wartawan adalah profesi yang terbuka dan dapat dilakukan oleh setiap orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik dan menyampaikannya dalam bentuk tulisan, suara, gambar atau bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak dan lainnya.
“Uji kompetensi menjadi suatu hal yang diperlukan karena wartawan bertugas menyebarkan informasi dan membentuk opini publik sehingga ia harus menjunjung tinggi independensi dan memberi suara bagi mereka yangtidak bersuara,” jelas Maria.
Terkait dengan keberadaan uji kompetensi kewartawanan ini, Maria mengungkapkan Uji Kompetensi dibentuk atas kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Palembang pada 2010. Standar kompetensi ini disusun dan diresmikan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/2010. Seorang wartawan dikategorikan profesional apabila memilki keterampilan untuk mengerjakan tugas dan perannya. Uji kompetensi ini dapat diikuti oleh wartawan sesuai dengan tingkatannya, mulai dari wartawan muda untuk pemula, madya untuk wartawan yang mengelola atau bertindak sebagai koordinasi, dan wartawan utama yang berperan ditingkat pimpinan redaksi.
“Dalam uji kompetensi ini setiap peserta yang dinyatakan lolos harus mendapatkan nilai di atas 70. Dan wartawan harus pula menghasilkan mata uji yang diberikan, di antaranya mampu menerapkan kode etik jurnalistik. Sementara biasanya peserta yang gagal adalah mereka yang mangkir dari ujian dan tidak mengikuti 11 unit yg diujikan atau melakukan pelanggaran,” sampai Maria.
Sementara dari pihak pemohon Pada sidang kali ini, Hence Mandagi selaku pihak pemohon yang diberi kesempatan bertanya kepada saksi, mempertanyakan kepeada saksi tentang mengapa ada organisasi perusahaan pers yakni Asosiasi Televisi Swasta Indonesia ATVSI yang anggotanya hanya 7 perusahaan pers tapi dijadikan konstituen Dewan Pers yang tidak sesuai ketentuan yang diatur Peraturan Dewan Pers sendiri tentang standar organisasi perusahaan pers yang seharusnya 200 anggota perusahaan pers.
Mandagi juga bertanya mengenai sistem pemilihan Anggota Dewan Pers. "Sepengetahuan Saksi, Apakah benar selama ini anggota Dewan Pers memiliki hak suara dan bahkan ikut memilih Anggota Dewan Pers? padahal dalam UU Pers disebutkan anggota dewan pers dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers," tanyanya.
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh saksi Bambang dan Maria yang dihadirkan Dewan Pers.
Menariknya, pemohon lainnya Soegiharto Santoso yang ikut mengajukan pertanyaan mengejar keterangan saksi Maria terkait pelaksanaan UKW. Soegiharto mempertanyakan dasar hukum pelaksanaan UKW dan standar kompetensi di Dewan Pers yang tidak teregistrasi di Kemenaker.
"Sepengetahuan Saksi, apa landasan hukum Dewan Pers sebagai fasilitator memberi lisensi kepada lembaga swasta atau organisasi pers dan media sebagai Pelaksana Sertifikasi Profesi?
Sebab hal tersebut merupakan kewenangan BNSP melalui LSP yang landasan hukum nya jelas hingga ada 10," beber Soegiharto sembari membacakan 3 contoh landasan hukumnya yaitu : Undang-Undang N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dan PerMenakertrans No. PER. 21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
"Jadi Sepengetahuan para Saksi, apa landasan hukum Dewan Pers sebagai fasilitator memberi lisensi tersebut? Sebab kami justru memiliki LSP yang terlisensi di BNSP," pungkasnya.
Pertanyaan Mandagi dan Soegiharto tersebut tidak bisa dijawab oleh kedua saksi. Saksi Maria yang sebelumnya bicara tentang UKW, tidak bisa menjelaskan secara detail dasar hukum yang digunakan dalam pelaksanaan UKW.
Dihubungi usai sidang, Vincent menjelaskan bahwa keterangan saksi Dewan Pers semakin meyakinkan Pemohon bahwasanya ada ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers.
“Saksi Bambang Sadono dengan tegas menyatakan Dewan Pers diberi kewenangan untuk membuat regulasi, padahal jelas di dalam UU Pers fungsi Dewan Pers hanya memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan," urai pengacara lulusan S2 Universitas Indonesia ini yakin.
Terlebih, menurutnya, saksi Bambang menyatakan dirinya saat itu menjadi Panitia Kerja UU Pers. "Jadi pak Bambang tahu persis proses pembentukan UU Pers. Hal ini menunjukkan adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers dan juga bertentangan dengan keterangan pemerintah yang menyatakan Dewan Pers tidak bertindak sebagai lembaga pembentuk atau regulator," terang Vincent yang juga adalah seorang asesor BNSP.
Vincent berharap keterangan saksi dari Dewan Pers ini menjadi pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam memutus perkara ini.
Seperti diketahui pada sidang terdahulu, para Pemohon menyebutkan sebagai perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum merasa terhalangi untuk membentuk Dewan Pers independen serta untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers secara demokratis. Tak hanya itu, ketentuan tersebut dinilai para Pemohon menyebabkan hak untuk menetapkan dan mengesahkan anggota Dewan Pers yang dipilih secara independen juga terhalangi. Para Pemohon menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019 silam yang menghasilkan terpilihnya Anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, karena adanya Pasal 15 ayat (5) UU Pers, hasil Kongres Pers Indonesia tersebut tidak mendapatkan respon dan tanggapan dari Presiden Indonesia.
Selain itu, keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers harus ditinjau kembali karena organisasi-organisasi pers kehilangan haknya dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Sebab dalam pelaksanaannya, pasal a quo dimaknai oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya berdasarkan fungsi Dewan Pers untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers. Sehingga keberlakuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers” karena membatasi hak organisasi-organisasi pers mengembangkan kemerdekaan pers dan menegakan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya akan digelar pada Kamis, 19 Mei 2022 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan oleh saksi dari Dewan Pers serta saksi dan ahli dari Persatuan Wartawan Indonesia.
(Sp/Lulu/Irf/Iksn) WBN
Sumber : Humas Mahkamah Konstitusi